Puisi Jendela Ibu karya Joko Pinurbo
Saturday, November 3, 2018
Edit
"JENDELA IBU"
Waktu itu saya sedang mencari taksi untuk pulang
entah dari arah mana, seorang supir taksi
tahu-tahu sudah memegang tangan saya,
meminta saya segera masuk kedalam taksinya.
Saya duduk di jok belakang membelakangi kenangan,
harum rindu membuat saya ingin lekas tiba di rumah,
minum kopi bersama senja di depan jendela.
Ia sopir yang periang. saat taksi dihajar kemacetan
ia benyanyi-nyanyi sambil menggoyang-goyangkan kepalanya yang gundul
tambah parah macetnya, tambah lantang nynyinya,
tambah goyang kepalanya.
Sopir taksi tentu tak tahu, saya tak punya jendela
yang layak dipersembahkan kepada senja.
jendela saya seperti hati saya : dingin, muram,ringkih,
takut melihat senja tersungkur dan terkubur di cakrawala.
Lama-lama saya mengantuk, kemudian tertidur.
taksi memasuki jalanan mulus dan lengang,
melintasi deretan bangunan tua dengan jendela-jendela yang tertawa
di tepi jalan berjajar pohon cemara.
di ranting-ranting cemara bertengger burung gereja.
Laju taksi tiba-tiba melambat.
taksi berhenti didepan kedai kopi.
"mari ngopi dulu, penumpang,"ujar sopir taksi.
"baiklah, sopir," saya menyahut.
"aku bersarah diri mengikuti panggilan kopi."
Di kedai kopi telah berkumpul beberapa sopir taksi
beserta penumpang masing-masing.
mereka dilayani seorang perempuan tua
yang keramahannya membuat orang ingin datang lagi kekedainya.
"urip iki mung mampir ngopi,"
ucapnya seraya menghidangkan secangkir kopi dihadapan saya,
lalu menepuk-nepuk pundak saya. wajahnya yang damai
dan matanya yang hangat segera mengingatkan saya pada ibu.
Saya terbangun setelah sopir taksi menepuk-nepuk pundak saya.
Ah, taksi sudah sampai di depan rumah.
Setelah saya membayar ongkos dan mengucapkan terima kasih,
sopir tersenyum dan berkata," selamat bertemu senja didepan jendela,penumpang".
Saya berterima ksih kepada ibu yang diam-diam telah mengirimkan sebuah jendela kecil untuk saya.
Paket jendela saya temukan di beranda.
Saya tidak pangling dengan jendela itu.
Jendela tercinta yang kacanya bisa memancarkan beragam warna.
Ibu suka duduk di depan jendela itu malam-malam.
Cahaya langit memantul biru pada kaca jendela.
ketika malam makin mekar dan sunyi kian semerbak,
ibu melantunkan tembang asmaradana dan mata ibu sesekali terpejam.
ibu menyanyikan tembang itu berulang-ulang
sampai anak-anaknya tertidur lelap.
Saya pasang jendela kiriman ibu di dinding kamar.
Cahaya hitam pekat membalut kaca jendela.
Perlahan muncul lah cahaya remang di iringi suara burung dan gemecik air sungai.
Jendela saya buka, lalu saya duduk tenang ditemani secangkir kopi.
Saya dan kopi terperangah ketika cahaya berubah terang.
Tampak lah di seberang sana sungai kecil yang mengalir jernih di bawah langit senja.
Di tepi sungai ada batu besar.
Saya lihat sopir taksi saya sedang duduk bersila di atas batu besar itu,
mengidungkan tembang asmaranda kesukaan ibu.
Kepalanya ynag gundul berkilauan.
Waktu itu saya sedang mencari taksi untuk pulang
entah dari arah mana, seorang supir taksi
tahu-tahu sudah memegang tangan saya,
meminta saya segera masuk kedalam taksinya.
Saya duduk di jok belakang membelakangi kenangan,
harum rindu membuat saya ingin lekas tiba di rumah,
minum kopi bersama senja di depan jendela.
Ia sopir yang periang. saat taksi dihajar kemacetan
ia benyanyi-nyanyi sambil menggoyang-goyangkan kepalanya yang gundul
tambah parah macetnya, tambah lantang nynyinya,
tambah goyang kepalanya.
Sopir taksi tentu tak tahu, saya tak punya jendela
yang layak dipersembahkan kepada senja.
jendela saya seperti hati saya : dingin, muram,ringkih,
takut melihat senja tersungkur dan terkubur di cakrawala.
Lama-lama saya mengantuk, kemudian tertidur.
taksi memasuki jalanan mulus dan lengang,
melintasi deretan bangunan tua dengan jendela-jendela yang tertawa
di tepi jalan berjajar pohon cemara.
di ranting-ranting cemara bertengger burung gereja.
Laju taksi tiba-tiba melambat.
taksi berhenti didepan kedai kopi.
"mari ngopi dulu, penumpang,"ujar sopir taksi.
"baiklah, sopir," saya menyahut.
"aku bersarah diri mengikuti panggilan kopi."
Di kedai kopi telah berkumpul beberapa sopir taksi
beserta penumpang masing-masing.
mereka dilayani seorang perempuan tua
yang keramahannya membuat orang ingin datang lagi kekedainya.
"urip iki mung mampir ngopi,"
ucapnya seraya menghidangkan secangkir kopi dihadapan saya,
lalu menepuk-nepuk pundak saya. wajahnya yang damai
dan matanya yang hangat segera mengingatkan saya pada ibu.
Saya terbangun setelah sopir taksi menepuk-nepuk pundak saya.
Ah, taksi sudah sampai di depan rumah.
Setelah saya membayar ongkos dan mengucapkan terima kasih,
sopir tersenyum dan berkata," selamat bertemu senja didepan jendela,penumpang".
Saya berterima ksih kepada ibu yang diam-diam telah mengirimkan sebuah jendela kecil untuk saya.
Paket jendela saya temukan di beranda.
Saya tidak pangling dengan jendela itu.
Jendela tercinta yang kacanya bisa memancarkan beragam warna.
Ibu suka duduk di depan jendela itu malam-malam.
Cahaya langit memantul biru pada kaca jendela.
ketika malam makin mekar dan sunyi kian semerbak,
ibu melantunkan tembang asmaradana dan mata ibu sesekali terpejam.
ibu menyanyikan tembang itu berulang-ulang
sampai anak-anaknya tertidur lelap.
Saya pasang jendela kiriman ibu di dinding kamar.
Cahaya hitam pekat membalut kaca jendela.
Perlahan muncul lah cahaya remang di iringi suara burung dan gemecik air sungai.
Jendela saya buka, lalu saya duduk tenang ditemani secangkir kopi.
Saya dan kopi terperangah ketika cahaya berubah terang.
Tampak lah di seberang sana sungai kecil yang mengalir jernih di bawah langit senja.
Di tepi sungai ada batu besar.
Saya lihat sopir taksi saya sedang duduk bersila di atas batu besar itu,
mengidungkan tembang asmaranda kesukaan ibu.
Kepalanya ynag gundul berkilauan.