6 Puisi Cinta Menarik Karya Buya Hamka
Tuesday, September 10, 2019
Edit
Kumpulan puisi karya Buya Hamka : kumpulan puisi cinta buya hamka. Nama Buya Hamka sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Ya, seorang ulama besar dan sastrawan indonesia. lebih dari 80 judul buku yang sudah beliau lahirkan, dan beberapa diantaranya sudah diangkat ke layar lebar seperti Dibawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Sebagai seorang sastrawan, Buya Hamka juga memiliki beberapa puisi menarik yang dapat kita nikmati keindahan dan maknanya, berikut adalah beberapa puisi karya Buya Hamka :
"Nikmat Hidup"
Setelah diri bertambah besar
ditempat ketjil tak muat lagi
setelah harga bertambah tinggi
orangpun segan datang menawar
rumit beredar ditempat ketjil
kerap bertemu kawan jang tjulas
laksana ombak didalam gelas
diri merasa bagai terpentjil
Walaupun musnah harta dan benda
harga diri djanganlah djatuh
binaan pertama walaupun runtuh
kerdja jang baru mulailah pula
pahlawan budi tak pernah nganggur
chidmat hidup sambung bersambung
kadang turun kadang membubung
sampai istirahat diliang kubur
Tahan haus, tahanlah lapar
bertemu sulit hendaklah tentang
memohon-mohon djadikan pantang
dari mengemis biar terkapar
hanya dua tempat bertanja
pertama Tuhan, kedua hati
dari mulai hidup sampaipun mati
timbangan insan tidaklah sama
Hanja sekali singgah ke’alam
sesudah mati tak balik lagi
baru ‘rang tahu siapa diri
setelah tidur dikubur kelam
selama nampak tubuh djasmani
gelanggang malaikat bersama setan
ada pudjian ada tjelaan
lulus udjian siapa berani
Djika hartamu sudah tak ada
belumlah engkau bernama rugi
djika berani tak ada lagi
separo kekajaan porak poranda
musnah segala apa yang ada
djikalau djatuh martabat diri
wadjahpun muram hilanglah sari
ratapan batin dosa namanja
Djikalau dasar budimu tjulas
tidaklah berobah karena pangkat
bertambah tinggi djendjang ditingkat
perangai asal bertambah djelas
tatkala engkau mendjadi palu
beranilah memukul habis-habisan
tiba giliran djadi landasan
tahanlah pukulan biar bertalu
Ada nasehat saja terima
menjatakan pikiran baik berhenti
sebab ‘lah banjak orang jang bentji
supaja engkau aman sentosa”
menahan pikiran aku tak mungkin
menumpul kalam aku tak kuasa
merdeka berpikir gagah perkasa
berani menjebut, jang aku jakin
Tjelalah saja, makilah saja
akan kusambut bertabah hati
ada jang suka, ada jang bentji
hiasan hidup di’alam maja
kalaulah timbul tengkar-bertengkar
antara jang bentji dengan jang sajang
itulah alamat sudah membajang
kewadjiban hidup telah kubajar
,Wahai diriku teruslah madju
ditengah djalan djangan berhenti
sebelum adjal, djanganlah ,,mati”
keridhaan Allah, itulah tudju”
"Berjumpa Pula"
Oh kau kiranya, bertemu pula
setelah 15 tahun kita berpisah
janganlah gugup. Sudahkah sembuh luka hatimu?
di aku sudah! Tapi payah aku melipur jejaknya
parutnya masih berkesan di dadaku
15 tahun, bertemu pula
setelah kita lalui jalan hidup masing-masing
maafkan daku. Bersiapakah aku mestinya
adinda, kekasih, juwita yang pernah kuucapkan di mukamu dulu
atau dalam surat-surat yang pernah kukirimkan
tidak ‘kan kuucapkan lagi
aku takut,
obat lekat pantang terlampau
kembali penyakit lama
--Ah, tidak; Aku mulai tua
15 tahun
sudah berapakah anakmu
adakah suamimu sehat saja
beruntung dalam rumah tangga
--Tak usah gugup!
15 tahun
melihat kau sekarang, kuteringat kau yang dulu
kau yang ada dalam kenanganku
kau yang tergambar dalam hatiku
aku teringat
mudaku dan mudamu
semasa kita masih menyangka, alam boleh sekehendak kita
padahal: Takdir tak mengizinkan kita bertemu
hidup kita tak dapat dipadu menjadi satu
kau mengambil jalanmu sendiri – terpaksa atau tidak
dan aku pun
mengambil jalanku pula
15 tahun
aku telah berjalan, dan berjalan jua
tapi dalam sudut hatiku, kau telah menjadi pelita yang hidup
kaulah pelitaku
tanglongku
dalam kegelapan malam yang senyap sunyi
sehingga aku menjadi aku
walaupun kau tak merasa. Barangkali
15 tahun
tertawa aku, tertangis aku
tersenyum tersedu
mendaki ku menurun
melereng ku mendatar
pernah kunaik, pernah kujatuh
jatuh dan bangkit lagi, lalu berjalan jua
sahaja mati yang belum kurasai
sehingga aku menjadi aku
dan perjumpaan kita, 15 tahun yang telah lalu
adalah pendorong perjuangan hidupku
Hari ini
setelah 15 tahun
kita pun berjumpa pula
aku dengan engkau
kau yang sekarang
maka teringatlah aku. Kau yang dulu
kalau bukan lantaran kau yang dulu
tentulah air mataku tidak kan titik ke bumi
garam hidupku yang kulalui
air mata itulah yang kususun kembali
sesudah dia jatuh berderai bagai manik putus pengarang
kujadikan gubahan buat kau. Kau yang dulu
sehinggaku menjadi Aku
15 tahun…
alangkah cepatnya putaran zaman
wahai orang yang sekian lama terlukis di sudut hatiku
jangan engkau salah terima, wahai kau yang sekarang
sekiranya aku melihat tenang. Merenung wajahmu
izinkanlah sejenak, aku mencari, mencari
aku ini kehilangan
dia. Dia akan kucari dalam ruang matamu
kau yang dulu
Berjalan lurus, dan teruslah
pikullah kewajiban yang telah ditentukan Tuhan
buat kau. Dan aku pun
meneruskan jalanku pula
berjalan dan berjalan jua
mendatar, melereng, mendaki dan menurun
kau lihat. Rambut putih telah mulai berjuntai di ubun-ubunku
kau lihat. Tiga garis telah mulai ada di keningku
alamat, sengitnya perjuangan yang telah kutempuh dulu dan kuhadapi lagi
marilah sama-sama, meneruskan perjalanan
melaksanakan hayat
jauh… dan jauh lagi
Hanya sebuah harapanku tinggal
semoga usia sama panjang
dapat berjumpa pula 15 tahun yang akan datang
mau atau tidak mau
kau… dan aku….
(Buya Hamka, buku ‘Kenang-kenangan Hidup’, 1951)
"Hati Sanubari"
Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa;
kemudian tuan bebas memberi saya nama
dengan apa yang tuan sukai;
Saya adalah pemberi maaf,
dan perangai saya adalah mudah, tidak sulit.
Cuma rasa hati sanubari itu
tidaklah dapat saya menjualnya;
katakanlah kepadaku, demi Tuhan.
adakah rasa hati sanubari itu bisa dijual?
"Roda Pedati"
Nasib makhluk adalah laksana roda pedati
Ia turun dan ia naik, silih berganti
Demikian kehendak Tuhan Rabbul Izzati
kita menunggu kadar,
kita berharap dan menanti...
"Biar Mati Badanku Kini"
Biar mati badanku kini
Payah benar menempuh hidup
Hanya khayal sepanjang hidup
Biar muram pusaraku sunyi
Cucuk kerah pudingnya redup
Lebih nyaman tidur di kubur
"Hanya hati"
Gajiku kecil
pencaharian lain tak ada
kicuh buku aku tak tahu
korupsi aku tak mahir
kerniaga aku tak pandai
Kau minta permadani
padaku hanya tikar pandan
tempat berbaring tidur seorang
kau minta tas atom
padaku hanya kampir matur
kau minta rumah indah perabit cukup
lihatlah! Gubukku tiris
kau minta kereta bagus
aku hanya orang kecil
apa dayaku
kekayaanku hanya satu, dik
Hati
hati yang luas tak bertepi
cinta yang dalam tak terajuk.
Sebagai seorang sastrawan, Buya Hamka juga memiliki beberapa puisi menarik yang dapat kita nikmati keindahan dan maknanya, berikut adalah beberapa puisi karya Buya Hamka :
"Nikmat Hidup"
Setelah diri bertambah besar
ditempat ketjil tak muat lagi
setelah harga bertambah tinggi
orangpun segan datang menawar
rumit beredar ditempat ketjil
kerap bertemu kawan jang tjulas
laksana ombak didalam gelas
diri merasa bagai terpentjil
Walaupun musnah harta dan benda
harga diri djanganlah djatuh
binaan pertama walaupun runtuh
kerdja jang baru mulailah pula
pahlawan budi tak pernah nganggur
chidmat hidup sambung bersambung
kadang turun kadang membubung
sampai istirahat diliang kubur
Tahan haus, tahanlah lapar
bertemu sulit hendaklah tentang
memohon-mohon djadikan pantang
dari mengemis biar terkapar
hanya dua tempat bertanja
pertama Tuhan, kedua hati
dari mulai hidup sampaipun mati
timbangan insan tidaklah sama
Hanja sekali singgah ke’alam
sesudah mati tak balik lagi
baru ‘rang tahu siapa diri
setelah tidur dikubur kelam
selama nampak tubuh djasmani
gelanggang malaikat bersama setan
ada pudjian ada tjelaan
lulus udjian siapa berani
Djika hartamu sudah tak ada
belumlah engkau bernama rugi
djika berani tak ada lagi
separo kekajaan porak poranda
musnah segala apa yang ada
djikalau djatuh martabat diri
wadjahpun muram hilanglah sari
ratapan batin dosa namanja
Djikalau dasar budimu tjulas
tidaklah berobah karena pangkat
bertambah tinggi djendjang ditingkat
perangai asal bertambah djelas
tatkala engkau mendjadi palu
beranilah memukul habis-habisan
tiba giliran djadi landasan
tahanlah pukulan biar bertalu
Ada nasehat saja terima
menjatakan pikiran baik berhenti
sebab ‘lah banjak orang jang bentji
supaja engkau aman sentosa”
menahan pikiran aku tak mungkin
menumpul kalam aku tak kuasa
merdeka berpikir gagah perkasa
berani menjebut, jang aku jakin
Tjelalah saja, makilah saja
akan kusambut bertabah hati
ada jang suka, ada jang bentji
hiasan hidup di’alam maja
kalaulah timbul tengkar-bertengkar
antara jang bentji dengan jang sajang
itulah alamat sudah membajang
kewadjiban hidup telah kubajar
,Wahai diriku teruslah madju
ditengah djalan djangan berhenti
sebelum adjal, djanganlah ,,mati”
keridhaan Allah, itulah tudju”
"Berjumpa Pula"
Oh kau kiranya, bertemu pula
setelah 15 tahun kita berpisah
janganlah gugup. Sudahkah sembuh luka hatimu?
di aku sudah! Tapi payah aku melipur jejaknya
parutnya masih berkesan di dadaku
15 tahun, bertemu pula
setelah kita lalui jalan hidup masing-masing
maafkan daku. Bersiapakah aku mestinya
adinda, kekasih, juwita yang pernah kuucapkan di mukamu dulu
atau dalam surat-surat yang pernah kukirimkan
tidak ‘kan kuucapkan lagi
aku takut,
obat lekat pantang terlampau
kembali penyakit lama
--Ah, tidak; Aku mulai tua
15 tahun
sudah berapakah anakmu
adakah suamimu sehat saja
beruntung dalam rumah tangga
--Tak usah gugup!
15 tahun
melihat kau sekarang, kuteringat kau yang dulu
kau yang ada dalam kenanganku
kau yang tergambar dalam hatiku
aku teringat
mudaku dan mudamu
semasa kita masih menyangka, alam boleh sekehendak kita
padahal: Takdir tak mengizinkan kita bertemu
hidup kita tak dapat dipadu menjadi satu
kau mengambil jalanmu sendiri – terpaksa atau tidak
dan aku pun
mengambil jalanku pula
15 tahun
aku telah berjalan, dan berjalan jua
tapi dalam sudut hatiku, kau telah menjadi pelita yang hidup
kaulah pelitaku
tanglongku
dalam kegelapan malam yang senyap sunyi
sehingga aku menjadi aku
walaupun kau tak merasa. Barangkali
15 tahun
tertawa aku, tertangis aku
tersenyum tersedu
mendaki ku menurun
melereng ku mendatar
pernah kunaik, pernah kujatuh
jatuh dan bangkit lagi, lalu berjalan jua
sahaja mati yang belum kurasai
sehingga aku menjadi aku
dan perjumpaan kita, 15 tahun yang telah lalu
adalah pendorong perjuangan hidupku
Hari ini
setelah 15 tahun
kita pun berjumpa pula
aku dengan engkau
kau yang sekarang
maka teringatlah aku. Kau yang dulu
kalau bukan lantaran kau yang dulu
tentulah air mataku tidak kan titik ke bumi
garam hidupku yang kulalui
air mata itulah yang kususun kembali
sesudah dia jatuh berderai bagai manik putus pengarang
kujadikan gubahan buat kau. Kau yang dulu
sehinggaku menjadi Aku
15 tahun…
alangkah cepatnya putaran zaman
wahai orang yang sekian lama terlukis di sudut hatiku
jangan engkau salah terima, wahai kau yang sekarang
sekiranya aku melihat tenang. Merenung wajahmu
izinkanlah sejenak, aku mencari, mencari
aku ini kehilangan
dia. Dia akan kucari dalam ruang matamu
kau yang dulu
Berjalan lurus, dan teruslah
pikullah kewajiban yang telah ditentukan Tuhan
buat kau. Dan aku pun
meneruskan jalanku pula
berjalan dan berjalan jua
mendatar, melereng, mendaki dan menurun
kau lihat. Rambut putih telah mulai berjuntai di ubun-ubunku
kau lihat. Tiga garis telah mulai ada di keningku
alamat, sengitnya perjuangan yang telah kutempuh dulu dan kuhadapi lagi
marilah sama-sama, meneruskan perjalanan
melaksanakan hayat
jauh… dan jauh lagi
Hanya sebuah harapanku tinggal
semoga usia sama panjang
dapat berjumpa pula 15 tahun yang akan datang
mau atau tidak mau
kau… dan aku….
(Buya Hamka, buku ‘Kenang-kenangan Hidup’, 1951)
"Hati Sanubari"
Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa;
kemudian tuan bebas memberi saya nama
dengan apa yang tuan sukai;
Saya adalah pemberi maaf,
dan perangai saya adalah mudah, tidak sulit.
Cuma rasa hati sanubari itu
tidaklah dapat saya menjualnya;
katakanlah kepadaku, demi Tuhan.
adakah rasa hati sanubari itu bisa dijual?
"Roda Pedati"
Nasib makhluk adalah laksana roda pedati
Ia turun dan ia naik, silih berganti
Demikian kehendak Tuhan Rabbul Izzati
kita menunggu kadar,
kita berharap dan menanti...
"Biar Mati Badanku Kini"
Biar mati badanku kini
Payah benar menempuh hidup
Hanya khayal sepanjang hidup
Biar muram pusaraku sunyi
Cucuk kerah pudingnya redup
Lebih nyaman tidur di kubur
"Hanya hati"
Gajiku kecil
pencaharian lain tak ada
kicuh buku aku tak tahu
korupsi aku tak mahir
kerniaga aku tak pandai
Kau minta permadani
padaku hanya tikar pandan
tempat berbaring tidur seorang
kau minta tas atom
padaku hanya kampir matur
kau minta rumah indah perabit cukup
lihatlah! Gubukku tiris
kau minta kereta bagus
aku hanya orang kecil
apa dayaku
kekayaanku hanya satu, dik
Hati
hati yang luas tak bertepi
cinta yang dalam tak terajuk.