Kumpulan puisi lawas Karya Widji Thukul I

Widji Thukul adalah seorang Sastrawan dan aktivis hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia, pria yang bernama asli Widji widodo lahir di Sorogeneng, Solo 26 Agustus 1963 ini merupakan salah satu tokoh penting yang ikut melawan penindasan rezim orde baru dan sejak tahun 1998 beliau tidak diketahui rimbanya hingga saat ini bersama beberapa aktivis lainnya.

Widji Thukul berjuang melalui seruan kata-kata dan puisi-puisinya yang lantang melawan rezim orde baru, yang Mana Kata-kata Tersebut mampu membangkitkan semangat demonstrasi, bahkan menurut wikipedia ada tiga sajak thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi masa yaitu "peringatan, sajak suara, dan bunga dan tembok.

Selain tiga sajak tersebut, masih banyak puisi-puisi menarik lainnya yang ditulis oleh beliau yang beberapa diantaranya masih relevan hingga saat ini, berikut merupakan beberapa sajak,puisi karya Wiji Thukul, semoga semangatnya dapat ditulakan pada generasi muda saat ini.


"Nyanyian Abang Becak"(solo, 1984)

Jika harga minyak mundhak
simbok semakin ajeg berkelahi sama bapak
harga minyak mundhak lombok-lombok akan mundhak
sandang pangan akan mundhak
maka terpaksa tukang-tukang lebon
lintah darat bank plecit tukang kredit harus dilayani

Siapa tidak marah bila kebutuhan hidup semakin mendesak
seribu lima ratus uang belanja tertinggi dari bapak untuk simbok
siapa bisa mencukupi
sedangkan kebutuhan hidup semakin mendesak
maka simbok pun mencak-mencak:
"pak-pak anak kita kebacut metu papat lho!"
bayaran sekolahnya anak-anak nunggak lho!"
si Penceng muntah ngising, perutku malah sudah
isi lagi dan suk Selasa Pon ana sumbangan maneh
si Sebloh dadi manten!"

Jika BBM kembali menginjak
namun juga masih disebut langkah-langkah kebijaksanaan
maka aku tidak akan lagi memohon pembangunan

Nasib
kepadamu duh pangeran duh gusti
sebab nasib adalah permainan kekuasaan

Lampu butuh menyala, menyala butuh minyak
perut butuh kenyang, kenyang butuh diisi
namun bapak cuma abang becak!
maka apabila becak pusaka keluarga pulang tanpa membawa uang
simbok akan kembali mengajak berkelahi bapak.




"Pasar Malam Sriwedari"(solo,mei 1986)

Beli karcis di loket
pengemis tua muda anak-anak
mengulurkan tangan
masuk arena corong-corong berteriak
udara terang benderang tapi sesak
di stand perusahaan rokok besar
perempuan montok menawarkan dagangannya
di stand jamu tradisionil
kere-kere di depan video berjongkok
nonton silat mandarin

Di dalam gedung wayang wong
penonton lima belas orang

Ada pedagang kaki lima
yang liar tak berizin
setiap saat bisa diusir keamanan




"Warung Kopi Yu Yen"(semarang, 1986)

”Mangga mampir mas!”
ngunjuk kopi napa jahe
sekul bothok napa oseng-oseng
nedhine
yen kebelet nguyuh
mang nguyuh ten mburi niku
yen kadhemen
mang kemulan
niki wonten kemul anyar
kemule saged ngentut
jenenge narti!




"Bunga Dan Tembok"(Solo, 1987)

Seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kau hendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kau kehendaki adanya
engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
kami adalah bunga yang dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
engkau adalah tembok itu
tapi di tubuh tembok itu telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama dengan keyakinan: engkau harus hancur!
dalam keyakinan kami
di manapun–tirani harus tumbang!




"Sajak"(solo, 1988)

Sajakku adalah kata-kata
yang mula-mula menyumpal di tenggorokan
lalu dilahirkan ketika kuucapkan

Sajakku adalah kata-kata
yang mula-mula bergulung-gulung
dalam perasaan
lalu lahirlah ketika kuucapkan

Sajakku
adalah kebisuan
yang sudah kuhancurkan
sehingga aku bisa mengucapkan
dan engkau mendengarkan

Sajakku melawan kebisuan




"Sajak"(solo, 1987)

Sajakku gerakan
bahasaku perlawanan
kata-kataku menentang
ogah diam

Ucapanku protes
suaraku bergetar
tidak! tidak!

Sajakku
adalah keluh-kesah dari kegelapan
sajakku adalah ketidakpuasan
yang dari tahun ke tahun
hanya jadi guman
sajakku
adalah kritik-kritik
yang hilang dalam bisik-bisik
sajakku mencari mahasiswa
aku ingin bicara
kehidupan sehari-hari
makin menekan

Aku ingin membacakannya
bersama suara-suara perempuan
yang menggapai-gapai jendela kaca
sambil menawarkan salaknya
kepadamu
di stanplat

Aku ingin membacakan sajakku
dalam diskusi-diskusi ilmiah
dalam rapat-rapat gelap
dalam pentas-pentas sandiwara
di depan penyair

Aku ingin menuliskan sajakku
dan mengucapkan kembali
kata-kata kita
yang hilang dicuri di depan
matamu




"Api"(Angke,Maret 1983)

Api yang bernama rahmat
tak mungkin dimatikan, tak akan kumatikan
maka kubiarkan menjilat mata batinku
membakar gelap tergelap perabot kamar impian
bisiknya:
:-korek saja rasa nyeri dari rongga benakmu

Cukil saja lalu bakar abukan kosongkan bola mata
dari angan hitam kelabu
:-dunia kita dunia yang telanjur

:-mau apa lagi? mau apa lagi?

Sebelum pergi rahmat mengecup kerut dahiku
dan jiwa pun penuh!

(dan pipiku kiri kanan masih merah bekas ciuman)
(dan wajahku masih merah dadu)
:-jalan, nak, anak lanang

Suatu waktu siapa pun pasti tertegun
seperti kamu.




"Sajak Rambut"(Sorogenen, Surakarta, Juni, 1983)

Rambutku gondrong benakku adalah hutan
keinginan terkurung di dalamnya
di kegelapan aku berteriak: kebebasan!

Sepanjang malam semakin ribut
jiwa siapa tak akan letih
menjelang pagi baru tertidur
hari hampir siang, matahari menegurku
hutanku kembali ribut minta dilayani.

Inikah dirimu, di depan kaca aku bertanya
kening yang terlipat, mata yang nyalang
rambut yang gondrong dan debar jantungmu
menangkap bau warna putih: uban!

Rambut yang panjang mendekati tanah
waktu memberat di tiap helai
berapa lagi bukit-bukit letih dan daki
sebelum sampai di sebuah pantai
melabuhkan lelah sementara
menyongsong badai kembali




"Kidung di Kala Sedih"(Solo, 1985)

Sebab harga diri tak bisa dibeli
biarkan nilai-nilai yang meragukanmu jadi sampah
bakar dan pergi

Pasang telinga nyalangkan juga mata
tetapi untuk membaca ayat-ayat-Nya di dunia ini
tak cukup dengan sepasang telinga dan dua biji mata
tetapi bebaskan hati untuk menyaring batu-batu nilai
yang dilemparkan orang lain untukmu

Hidup ini memang sulit buktinya: para filsuf
setiap orang pernah berkerut kening karena sedih
terharu atau tertawa karena tiba-tiba merasa lucu
dirinya disebut pahlawan padahal bajingan

Setiap menatap diri sendiri dan orang lain
rasanya hidup ini semakin rawan
siapa bisa berhenti menipu orang lain?
kita tidak bisa setidaknya aku pun

Aku sering merasa heran bila membaca kembali
kisah-kisah sokrates
yang mati gagah minum racun demi hukum dan kebenaran
dicatat di diktat-diktat filsafat di ensiklopedi
toh kepadanya kita lupa hikmahnya
buktinya: sengkon dan karta

Agus menghamili tutik tapi agus minggat.
dan bah cu wi yang tak mengizinkan anaknya kimpoi
dengan jawa.

Harga diri memang tak bisa dibeli
tetapi jika kita gampang percaya dan tidak curiga
berhati-hatilah saudaraku.




"Kenangan Anak-Anak Seragam"(Sarang Jagat Teater, Januari 1988)

Pada masa kanak-kanakku
setiap jam tujuh pagi
aku harus seragam
bawa buku harus mbayar
ke sekolah

Katanya aku bodoh
kalau tidak bisa menjawab
pertanyaan guru
yang diatur kurikulum

Aku dibentak dinilai buruk
kalau tidak bisa mengisi dua kali dua
aku harus menghapal
mataku mau tak mau harus dijejali huruf-huruf
aku harus tahu siapa presidenku
aku harus tahu ibukota negaraku
tanpa aku tahu
apa maknanya bagiku

Pada masa kanak-kanakku
aku jadi seragam
buku pelajaran sangat kejam
aku tidak boleh menguap di kelas
aku harus duduk menghadap papan di depan
sebelum bel tidak boleh mengantuk

Tapi
hari ini
setiap orang boleh memberi pelajaran
dan aku boleh mengantuk
.
.
.
Selanjutnya...

Iklan Atas Artikel

Iklan

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel